ktnanasional - JAKARTA. Lebaran menjadi hari bahagia bagi umat Islam setelah menjalankan ibadah Puasa selama sebulan. Namun kadang menjelang Hari Kemenangan tersebut, masyarakat justru terusik dengan kenaikan harga pangan, sehingga harus merogoh kocek lebih banyak. Seperti kasus lonjakan harga cabai dan bawang merah yang kerap menjadi tamu tahunan menyambut Idul Fitri.
Salah satu ancaman besar yang dihadapi seluruh negara di dunia adalah kenaikan inflasi akibat fluktuasi harga pangan yang sangat dinamis. Komoditas pangan yang dinilai sering menyumbang inflasi diantaranya, aneka cabai dan bawang merah. “Ini tentu harus menjadi perhatian untuk serius kita kendalikan,” kata Direktur Sayuran dan Tanaman Obat, Ditjen Hortikultura, Kementerian Pertanian, Andi M. Idil Fitri.
Karena itu Idil mengatakan, cabai dan bawang merah menjadi komoditas strategis sayuran yang menjadi prioritas utama pengembangan hortikultura. Keduanya disebut strategis karena menjadi kebutuhan pokok dan penting bagi pemenuhan konsumsi masyarakat sehari-hari.
“Ketersediaan dua komoditas tersebut bahkan menjadi indikator atas kinerja perekonomian nasional baik skala makro maupun mikro,” kata Idil saat webinar Jaga Stabilitas dan Harga Cabai-Bawang Merah Jelang Lebaran yang diselenggarakan Tabloid Sinar Tani di Jakarta, Kamis (14/3).
Gangguan yang terjadi atas pasokan cabai dan bawang merah yang berdampak pada fluktuasi harga, akan menimbulkan efek langsung terhadap stabilitas ekonomi, sosial bahkan politik. Namun tantangan pengembangan dua komoditas tersebut tidaklah ringan. Dari mulai produksi yang tidak merata antar waktu dan wilayah, tantangan dalam budidaya juga tidak kecil.
“Kami mencoba memformulasikan berbagai upaya komprehensif untuk mengurai persoalan penyediaan cabai dan bawang menjadi tujuh langkah,” kata Idil. Langkah pertama dan fundamental adalah pengelolaan data produksi dan kebutuhan cabai–bawang merah antar-waktu dan antar-wilayah hingga satuan terkecilnya setingkat kecamatan.
Data tersebut saat ini sudah dapat diakses dengan mudah karena adanya nota kesepahaman antara Kementerian Pertanian dengan BPS untuk penyediaan SATU DATA Nasional. Sementara proyeksi kebutuhan nasional menjadi tugas pokok dan fungsi Badan Pangan Nasional yang secara paralel merekonsiliasi data bersama Kementerian Pertanian.
Langkah kedua, menyusun perencanaan produksi secara detail dan terukur hingga satuan waktu dan wilayah terkecil. Rata-rata umur panen cabai adalah 120 hari setelah tanam, sedangkan bawang merah 60 – 80 hari setelah tanam.
“Algoritma sederhana tersebut dapat menjadi patokan menyusun rencana tanam di seluruh sentra yang ada. Ini pula yang mendasari urgensi keberadaan sistem Early Warning System (EWS) Cabai – Bawang Merah yang telah dikembangkan Ditjen Hortikultura,” tuturnya.
Ketiga, mengkonsolidasikan seluruh sumber daya dan stakeholder terkait dalam penyediaan prasarana dasar budidaya. Prasarana dasar yang sangat menentukan keberhasilan budidaya meliputi sistem penyediaan air, aksesibilitas jalan, jaringan listrik serta alsintan pra panen. Contoh paling mudah saat El Nino adalah penyediaan sumur-sumur air dalam atau dangkal berdasarkan peta permukaan air tanah yang sudah ada di masing-masing pemerintah kabupaten.
Keempat, memastikan ketersediaan sarana oduksi seperti benih, pupuk dan pestisida tepat waktu di musim tanam untuk mengurangi potensi kegagalan. Sering petani tidak mampu menyediakan sarana produksi tepat saat musim tanam karena keterbatasan modal dan akses mendapatkan input produksi tersebut.
Khusus untuk cabai dan bawang merah hingga saat ini masih dipertahankan mendapat skema pupuk bersubsidi. Pola penyediaan benih cabai dan bawang merah biji saat ini dikembangkan teknologi soil block. “Penggunaan teknologi tersebut memungkinkan produksi benih berjalalan lebih massif dan efisien biaya produksi,” katanya.
Semengtara untuk penggunaan pestisida harus didorong ke arah pestisida ramah lingkungan berbahan baku bersumber dari nabati. Pemerintah bisa memberikan fasilitasi dalam bentuk peralatan/teknologi yang memungkinkan petani mampu memproduksi pestisida nabati dari bahan-bahan sekitar lokal.
Kelima konsolidasi champion, kelompoktani dan kelembagaan ekonomi petani lainnya yang berperan menjaga keberlanjutan usahatani cabai dan bawang merah di wilayah setempat. Kelembagaan SDM petani menjadi aspek krusial yang menentukan keberhasilan budidaya dan keberlanjutan.
“Manajemen pengelolaan SDM ini menjadi titik kritis subsistem agribisnis cabai dan bawang merah. Keberadaan champion ini tidak untuk menggantikan fungsi penyuluh atau petugas dinas, namun eksistensinya justru menjadi mitra kolaborasi saling menguatkan,” tuturnya.
Keenam, lanjut Idil, kolaborasi penyediaan gudang penyimpanan berskala besar untuk pengaturan stok nasional. Salah satu langkah strategis mengatur stok cabai dan bawang merah adalah fasilitas gudang penyimpanan dengan teknologi pendingin (cool storage). Pengelolaan gudang kapasitas besar tersebut bisa dilakukan BUMN yang bermitra dengan pelaku usaha berskala nasional.
Langkah ketujuh, menumbuhkan sentra penyangga baru di seluruh pulau besar di Indonesia untuk tujuan spesifik. Sebab menurut Idil, pengembangan cabai dan bawang merah yang mengandalkan sentra tertentu saja dalam jangka panjang akan rentan terganggu, terlebih jika terjadi kejadian luar biasa yang menyebabkan penurunan drastis produksi.
Karena Idil menganggap perlu upaya penumbuhan sentra baru di lokasi yang selama ini dipetakan defisit. Langkah tersebut ditempuh untuk mengurangi ketergantungan pasokan dari sentra utama sekaligus langkah antisipasi jangka panjang. Kawasan pengembangan tersebut juga berpotensi meringankan beban pasokan dari sentra utama.
“Itulah 7 langkah strategis penanganan ketersediaan cabai dan bawang nasional. Kunci utamanya adalah kolaborasi dan sinergi yang erat dari seluruh stakeholder terkait. Siapa berbuat apa harus terurai, terencana, tereksekusi dan terevaluasi dengan baik,” kata Idil Fitri. (admin)